Meninggal Usai Rehabilitasi, Divisi Hukum IPWL LRPPN-BI Angkat Bicara


MediaRakyat.co.id, Banyuwangi – Kasus meninggalnya SH belakangan ini menimbulkan berbagai spekulasi di tengah masyarakat. Menanggapi hal tersebut, Divisi Hukum IPWL LRPPN-BI Banyuwangi, H. Agus Dwi Hariyanto, SH., MH, yang juga merupakan Founder Kantor Hukum HARSA & Partners, menegaskan bahwa kejadian tersebut terjadi di luar tanggung jawab pihak lembaga rehabilitasi.

Baca Berita Sebelumnya: Pria di Banyuwangi Ditemukan Tewas Gantung Diri

Menurut Agus Dwi Hariyanto, yang akrab disapa Mas Herry, lembaga rehabilitasi memiliki tanggung jawab terhadap pasien hanya selama mereka menjalani program rehabilitasi di dalam panti. Setelah pasien menyelesaikan masa rehabilitasi dan keluar dari program, tanggung jawab utama beralih kepada individu yang bersangkutan serta keluarganya.

“Lembaga rehabilitasi seperti IPWL LRPPN-BI memiliki tanggung jawab terbatas selama pasien masih berada dalam program. Begitu pasien dinyatakan selesai dan keluar, tanggung jawab lembaga berakhir, kecuali ada perjanjian khusus atau rekomendasi lanjutan yang diabaikan,” jelasnya.

Berdasarkan kronologi yang disampaikan, SH telah keluar dari lembaga sekitar satu minggu sebelum kejadian. Tidak ditemukan adanya indikasi pelanggaran atau kesalahan prosedural yang dilakukan LRPPN-BI dalam menangani pasien tersebut.

“Jika korban sudah keluar selama satu minggu sebelum kejadian, maka hal ini sudah masuk dalam fase pasca-rehabilitasi yang menjadi tanggung jawab individu dan keluarga,” tambahnya.

Lebih lanjut, Mas Herry menjelaskan bahwa pasca-rehabilitasi merupakan masa yang cukup krusial bagi mantan pasien. Dalam beberapa kasus, tekanan psikologis atau masalah pribadi yang tidak terselesaikan bisa mempengaruhi kondisi mental seseorang. Oleh karena itu, peran keluarga dan lingkungan sangat penting dalam memastikan pemulihan pasien tetap berkelanjutan.

“Setelah keluar dari panti, pasien harus mendapat dukungan dari keluarga dan lingkungan agar tetap stabil secara mental dan sosial. Jika tidak, mereka bisa kembali mengalami tekanan yang berisiko bagi kesehatan mentalnya,” ujarnya.

Aspek Hukum: Kapan Lembaga Bisa Dimintai Pertanggungjawaban?

Secara hukum, lembaga rehabilitasi hanya bisa dimintai pertanggungjawaban jika terdapat bukti bahwa mereka melakukan:

  1. Malpraktik atau kelalaian yang menyebabkan kondisi mental pasien memburuk.
  2. Pelanggaran Standar Operasional Prosedur (SOP) dalam proses rehabilitasi.
  3. Tindakan paksaan atau kekerasan yang berdampak buruk pada pasien.
Baca Juga:  Komunitas RX King Banyuwangi Gelar Aksi Spontan Dukung Revisi UU TNI, Bagikan Takjil ke Warga

Namun, dalam kasus SH, tidak ditemukan bukti adanya faktor-faktor tersebut.

“Secara hukum, LRPPN-BI tidak bisa langsung dimintai pertanggungjawaban hanya karena korban pernah menjadi kliennya. Kecuali ada bukti yang menunjukkan bahwa tindakan atau kelalaian pihak panti secara langsung berkontribusi pada kejadian ini,” tegas Mas Herry.

Pihak keluarga tetap memiliki hak untuk melaporkan jika merasa ada kejanggalan atau dugaan malpraktik selama proses rehabilitasi. Namun, dari sudut pandang hukum, tidak ada dasar yang cukup kuat untuk menyalahkan LRPPN-BI atas kejadian yang menimpa SH.

“Jika ada yang merasa keberatan atau menemukan indikasi kelalaian, silakan menempuh jalur hukum agar dilakukan penyelidikan lebih lanjut sesuai prosedur,” pungkasnya.


Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *