
BANYUWANGI – Forum bedah buku Selawat Badar menghadirkan diskusi mendalam di Palinggihan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Banyuwangi, Rabu (26/3/2025) petang. Buku karya Ayung Notonegoro ini mengulas sejarah dan dinamika sosial di balik sholawat yang telah mendunia.
Acara ini dihadiri oleh pengurus Dewan Kesenian Belambangan (DKB), Lentera Sastra Banyuwangi, serta mahasiswa Universitas 17 Agustus 1945 (Untag) Banyuwangi. Kepala Bidang Kebudayaan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Banyuwangi, Dewa Alit, dalam sambutannya menegaskan bahwa Selawat Badar telah mendapatkan pengakuan negara. Presiden RI menganugerahkan Satyalancana kepada penciptanya, KH. Ali Mansur, sebagai penghormatan atas kontribusi besarnya dalam dakwah Islam melalui seni.
Namun, di balik pengakuan tersebut, diskusi berkembang ke arah yang lebih luas dan kompleks.
Ayung Notonegoro menjelaskan bahwa Selawat Badar lahir pada 1960-an dari tangan KH. Ali Mansur, seorang ulama yang pernah menjabat sebagai Ketua PCNU Banyuwangi dan Kepala Kantor Urusan Agama (KUA) Kabupaten Banyuwangi (sekarang setingkat Kepala Kantor Kementerian Agama Kabupaten) Sosoknya juga tercatat sebagai anggota Konstituante.
Menurut Ayung, selawat ini merupakan bagian dari tradisi panjang bacaan sholawat yang berkembang di Nusantara. “Perintah membaca selawat berasal langsung dari Allah, dan tidak ada aturan baku dalam redaksinya. Karena itu, kita mengenal berbagai versi seperti Selawat Nariyah, Selawat Munjiyat, dan Selawat Asyghil. Banyuwangi mencatatkan sejarahnya sendiri melalui Selawat Badar,” ungkapnya.
Namun, diskusi tidak berhenti pada aspek sejarah. Para pembedah mengupas lebih dalam mengenai makna dan relevansi sholawat ini dalam konteks sosial dan politik.
Syafaat, Ketua Yayasan Lentera Sastra Banyuwangi yang juga ASN di Kementerian Agama Kabupaten Banyuwangi, menyoroti peran KH. Ali Mansur dalam perkembangan Islam di Banyuwangi. Ia mengaitkan penciptaan Selawat Badar dengan situasi sosial-politik saat itu, terutama persaingan ideologi antara Partai Komunis Indonesia (PKI) dan Nahdlatul Ulama (NU).
“Tanpa kiprah KH. Ali Mansur di Banyuwangi, mungkin Selawat Badar tidak akan tercipta. Beliau tidak hanya ulama, tetapi juga aktor penting dalam pergerakan Islam di daerah ini,” jelasnya.
Sementara itu, Ketua DKB, Hasan Basri, menyoroti aspek sastra dalam Selawat Badar. Menurutnya, sholawat ini memiliki struktur khas puisi Arab dengan simbolisme yang kuat. “Ini bukan sekadar doa, tetapi juga bagian dari khazanah sastra Islam yang kaya,” ujarnya.
Dari perspektif politik, Iqbal Baraas dari Universitas Islam Ibrahimy Genteng menambahkan bahwa seni dan keagamaan di era 1950-1960-an tidak bisa dilepaskan dari politik. “Selawat Badar adalah salah satu contoh bagaimana seni dijadikan alat ekspresi dan propaganda,” katanya.

Genjer-genjer dan Narasi Warisan Budaya Banyuwangi
Diskusi semakin menarik saat Elvin Hendrata, salah satu peserta, mengangkat perbandingan dengan lagu Genjer-genjer.
“Saya mengiyakan klaim tentang pentingnya Selawat Badar, tapi jangan berlebihan. Sementara lagu Genjer-genjer yang jelas lahir di Banyuwangi, kita biarkan tanpa pembelaan dan pelurusan sejarah,” cetusnya.
Seperti diketahui, Genjer-genjer adalah lagu rakyat Banyuwangi yang sempat menjadi alat propaganda politik pada era Orde Lama dan kemudian dilarang pada masa Orde Baru. Pernyataan Elvin membuka wacana baru tentang bagaimana warisan budaya Banyuwangi lainnya seolah tenggelam di balik glorifikasi Selawat Badar.
Diskusi akhirnya ditutup dengan pembacaan Selawat Badar bersama dan buka puasa. Namun, pertanyaan-pertanyaan yang mengemuka dalam forum ini masih menggantung.
Lebih dari sekadar ritual keagamaan, Selawat Badar telah menjelma menjadi simbol sosial, politik, dan budaya Banyuwangi. Bedah buku ini bukan hanya tentang sejarah sebuah sholawat, tetapi juga refleksi tentang bagaimana ekspresi religius dapat terjalin erat dengan identitas masyarakatnya—serta bagaimana warisan budaya lain mungkin masih menunggu giliran untuk mendapatkan tempat yang setara dalam ingatan kolektif. (Iksan)